Skip to main content

(S)-END-IRI


Terlalu banyak orang yang menanyakan gue arti dari kesendirian.
Gue akan mencoba menjawabnya dari tulisan ini dan ini pure berasal dari sudut pandang gue dan pengalaman gue pribadi.

Teruntuk gue sendiri, sendiri bukanlah hal yang aneh dan terkesan lumrah karena gue ditakdirkan sebagai anak tunggal. Keseharian gue di rumah ya gak jauh dari gue dan diri gue sendiri meskipun gue juga sering menghabiskan waktu untuk ngobrol atau bercanda-bercanda kecil dengan orangtua gue, terutama nyokap. Pada dasarnya sih gue gak pernah merasa hampa atau kosong ketika selama gue berada di rumah. Selalu ada hal yang membuat hidup gue terisi, gue juga gak pernah merasa “gersang” ketika gue sendirian. Sebenarnya gue juga gak ada jawaban pasti kenapa gue merasa hidup gue terisi. Mungkin, hal itu terjadi karena gue sudah terbiasa dengan hal tersebut dan gue merasa hidup gue masih baik-baik saja ketika gue sendiri.

Berada di dalam kesendirian bukan berarti tandanya hidup gue gak ada masalah atau justru menjadikan kesendirian itu sebagai suatu masalah karena adanya masalah itu wajar dalam sebuah kehidupan, bahkan gue seringkali gak menganggap itu sebuah masalah. Ya, simply memaknai si 'masalah' sebagai sebuah alur atau proses yang harus gue lewatin untuk mencapai titik tertentu.
Sendiri itu gak sebatas hanya gak punya pasangan alias gak punya pacar. Lebih tepatnya, sendiri itu ya... diri kita sendiri. Setiap orang itu diciptakan sebagai individu yang tunggal instead of hakikatnya setiap manusia adalah makhluk sosial. Jadi, sendiri itu artinya bukan gue gak membutuhkan orang lain, tetapi lebih menyadari kalau segala sesuatu itu kembali ke diri kita sendiri, dan ketika ada hal di diri kita yang perlu untuk disangkutkan dengan orang lain, kita harus tetap berpikir bahwa kita itu sendiri. Bukan, yang gue maksud bukan kita harus menjadi egois meskipun di tiap orang tertanam partikel ego dengan kadar yang bisa kita kendalikan. Hal yang gue bold  di sini adalah setiap manusia itu saling “bergantung”, bukan saling “menggantung”.

Memutuskan untuk sendiri di beberapa occasion buat gue adalah karena gue sadar gue harus memiliki waktu khusus hanya untuk gue dan diri gue. Melalui hal tersebut gue paham kalau menyendiri atau menepi sejenak itu bukan karena kita ingin menjauhi orang lain atau some circle. Gue ingin menekankan kalau jarak yang ada antara kita dengan lingkungan dan orang-orang terdekat kita bukan hadir untuk menimbulkan benci, bukan karena ada sesuatu yang harus kita hindarkan. Sendiri itu sederhana. Sesederhana alasan kita ‘menyendiri’.

Pertama, dengan sendiri kita bisa introspeksi hal-hal yang kita bawa dari ‘keramaian’, perbincangan, atau bahkan dengan adanya waktu untuk sendiri, kita jadi punya bekal untuk akhirnya bercampur-baur dalam sebuah lingkup obrolan. Personally, gue adalah orang yang gemar mengamati, gue memiliki kesenangan sendiri untuk melihat orang lain berinteraksi, cara mereka menyampaikan atau menanggapi sesuatu, and all of the stuffs yang related tentang itu meskipun gue sendiri pun sebenarnya menjadi subjek dalam proses interaksi tersebut.

Kedua, sendiri dapat menjadi sebuah cara untuk melatih rasa empati. Aneh mungkin, padahal empati itu dalam penerapannya pasti melibatkan lebih dari satu orang, bukan hanya diri kita sendiri. Sadar atau gak, atau mungkin ini hanya terjadi pada di diri gue, ketika kita sedang berjarak dengan orang lain, entah itu karena kesibukan masing-masing, atau karena intensitas komunikasi yang kurang, terkadang gue melemparkan hal tersebut terjadi karena pihak lain. Sampai pada akhirnya gue merasakan hal yang gue ‘tuduhkan’ itu berbalik ke arah gue. Padahal gue menyimpan prasangka buruk itu persis hanya dalam hati gue saja. Ya… serapat apapun gue menutupi, semesta selalu tahu dan akan memutarkan takdir itu ke diri gue sendiri hingga akhirnya gue seketika tersadar kalau selama ini gue salah. Singkat cerita, gue berpikir kalau dengan sendiri itu kita harusnya punya rasa empati ke orang lain, gak harus dengan berlebihan atau terkesan memaksakan, cukup dengan mencoba mengerti apa yang melatarbelakangi seseorang melakukan hal-hal yang ketika kita melihat itu jadi nyeletuk dalam hati “apa sih…” atau jadi antipati pada beberapa hal yang padahal selalu ada pelajaran yang dapat kita ambil dari apa yang orang tersebut lakukan, atau jadi celah untuk menyambungkan diri kita dengan orang tersebut, atau bahkan hal yang teramat mudah, tetapi sering banget gue atau lo lupakan adalah kita bisa menjadikan bagian itu untuk mendoakan dia atas apa yang menurut kita kurang berkenan. Ada orang bijak bilang kalau kita mendoakan kebaikan ke orang lain itu mudah-mudahan kebaikan tersebut bersinergi dengan diri kita sendiri.

Ketiga, sendiri juga mengajarkan kita untuk beradaptasi. Beradaptasi dengan sepi, sunyi, senyap, dan gelap yang terkadang kadarnya melampaui batas saat kita dan orang lain sedang terlepas. Menurut gue, beberapa elemen tersebut hadir bukan untuk menjadikan kita menjadi pribadi yang hampa, tetapi justru dengan ‘mereka’lah kita larut bersama.
Sendiri bukan fiksi, sendiri bukan tragedi. Pada akhirnya, kita memang hanya s(end)iri.

Sampai jumpa di tulisan selanjutnya.
:)

Comments

Popular posts from this blog

Air itu Bernama Waktu

di ambang pintu, deru tubuh menyala. deras ingatan perihal lakumu tanpa aba-aba, sambutku seadanya. puing-puing kata terbenam di rahang, kebekuan menyeruak lebih jerit, melewati genggaman kendali. getir memelik, setara langit memeluk muram pijar sekitarnya. menoleh ke depan, digulung canggung. saling sekarat menyimpan? saat semua ini kau baca, jelaga tatapmu ialah sepahit-pahitnya sesal di rongga dada. tak pernah kubahas, terkutuk sebatang kara.  biarkan aku menyelam, dalam. agar kau ingat bahwa dirimu tak pernah benar-benar mengalir sendiri. masihkah ada di sana? - S.

Bukan Pandemi, Pedih yang Perlu Didampingi

hari ini kita saling merasakan hal yang sama; pedih. iya, kita hanya memiliki sedikit celah untuk menampik bahwa hari ini kita mengenyam pedih teramat dalam. kita tak bisa lagi pura-pura biasa dengan kepedihan, sebab hari ini kita bisa dengan lepas menuangkan pedih tersebut tanpa beban. pandemi memang bukan satu-satunya masalah yang pernah atau sedang kita alami sepanjang menghela napas duniawi, begitu pun dengan serangkaian masalah yang pernah kita temui. sebuah perkara, apapun itu, tidak pernah dimainkan oleh aktor tunggal. artinya, kita bukanlah satu-satunya orang yang berlakon, tetapi hanya sebagai salah satunya. bukan, bukan Tuhan malas menciptakan masalah. toh, bukannya masalah muncul karena sebuah pilihan yang tak menghadirkan Tuhan, ya? ah, sudahlah. kembali lagi, pandemi adalah penderitaan, sekaligus perayaan kolektif. narasi seksis tentang pria yang dianggap tak wajar karena menangis atau lebih identik dengan perihal bengis, rasanya tak lagi relevan di situasi kini. sia...

Enam, Dua Ribu Dua Puluh

Bersembunyi jadi barang pasti ketika risau mengakui. Haruskah menipu diri, sementara dengan jelas kau tumpuk pedih itu sendiri? Tak mampukah lagi berbagi? Semisal alur mengalir seperti biasa, pun ketika berdesak deras dengan hujan, kau tetap bisa menuturnya perlahan. Sebaliknya, kau justru lebih gemar mendekap hangat kemelu, sibuk senyap menerka pernyataan, lalu lenyap dalam pertanyaan. Jika menulis ialah mengerti, serta membaca adalah memahami, jarak antara paragraf ini dan sebelumnya serupa utas dan pintu baru bahwa kita tak pernah benar-benar tuntas. Namun, akankah "kita" benar-benar ada? -S.