Skip to main content

Dekat Tanpa Lekat


Judul tulisan ini sebenarnya mengutip salah satu kalimat dalam puisi di buku-bukuan karya gue sendiri yang berjudul “Buai Aksara”.
Teruntuk teman-teman yang belum atau mau membaca tapi kita belum ada ruang untuk bertemu secara fisik dan melihat bentuk fisik dari buku tersebut, silakan kunjungi link berikut, ya, https://drive.google.com/file/d/12wk8ey3r2795uW44-fUZr6WEaj9L3EpF/view?usp=drivesdk.

Btw, bukan itu yang mau gue bahas, melainkan kalimat di judul ini sangat relateable dengan apa yang terjadi di percakapan beberapa malam kemarin.
Rasanya, bukan waktu yang singkat meskipun bukan waktu yang terlampau lama untuk saling mengenal seseorang selama hampir 4 tahun. Selama ini, gue dan salah satu teman gue ini bukan hanya mengenal, sedikit dan banyaknya kita tahu keseharian masing-masing seperti apa, beberapa momen penting yang masing-masing kita laluin, atau hal paling sederhananya adalah dia setidaknya selalu tahu kalau gue lagi in a relationship atau tidak, dan ketika iya, dia pun tahu dengan siapa orangnya.

Singkat cerita, percakapan itu dimulai dari hal yang sangat ringan, mulai dari cerita tentang dia yang diberi cokelat oleh seorang perempuan (Yep, teman gue ini pria), masalah tentang struggling dengan pekerjaan, masalah dia yang menganggap dirinya seorang “player”, masalah dia yang… Eh, tunggu. Kenapa semua didominasi dengan kata “dia” ya? Gimana dengan gue? Setidaknya gue memilih untuk menunda bicara terlebih dahulu karena gue nggak mau dalam suatu percakapan ada gap untuk saling timpa dan timpang.
Tibalah pada satu lini kalimat yang dia ucapkan, yang menurut gue menarik, dan secara tidak langsung juga dia memberi gue ranah untuk berbicara dari pertanyaan dia tersebut.

Syif, mau jujur. Kita kan udah berteman lama…”
Ya, terus?”
But I still don’t know about you.”
Hahaha.”
Lo tuh masih kayak misteri aja gitu.” — Lol, misteri dong. 😂 — Yap, intinya, gue belum tahu lo itu seperti apa. Seorang Syifa itu siapa, bagaimana orangnya, dan bagaimana cara memperlakukannya. Terkadang gue ngerasa, gue suka salah ngomong sama lo. Gue belum tahu menempatkan lo itu seperti apa.”

Empat tahun, sering jalan bareng, sering bertukar pendapat, sering saling ‘nontonin’ kehidupan masing-masing, dan masih ada statement seperti ini. Terlihat dekat. Mungkin, kalau orang yang nggak sepenuhnya tahu tentang kita dan nggak berpikir jernih, menganggap kita ini dekat dalam ‘tanda kutip’. Ya, tipikal ‘warganet ceria’ yang sering merespons sentimen kalau gue berteman dengan lawan jenis, padahal mostly teman dan sahabat dekat gue adalah kaum adam. But, it’s ok. Bukan itu permasalahannya.

Menurut gue, sebuah kedekatan sebenarnya tidak memiliki definisi atau suatu ukuran yang membuatnya tampak ideal. Setiap orang berhak merepresentasikan suatu kedekatan dengan orang lain dari masing-masing pandangannya. Namun, pada realitanya yang kerap menjadi kerikil adalah belum semua orang memahami dinamika sudut pandang tersebut. Padahal, hal ini juga didasari karena setiap orang memiliki batasan-batasan yang diciptakan secara pribadi kepada orang lain. Sampai sering kali ada rasa tidak terima kalau kedekatan itu hanya dinyatakan sepihak. Mungkin bisa jadi bagi beberapa orang, kedekatan berfungsi sebagai pemenuh ambisi, suatu medium pengakuan diri, atau wujud dari intimasi suatu perkenalan, tetapi di lain sisi, kedekatan hanyalah sebatas abstraksi yang tak punya deskripsi resmi.

Jadi, yang bisa gue simpulkan adalah untuk merasa dekat dengan orang lain, bukan berarti kita berkewajiban mengetahui segala hal tentang diri mereka. Kita bisa mengatakan bahwa kita memiliki kedekatan dengan seseorang, tetapi kita tidak bisa beropini bahwa kita tahu secara keseluruhan tentang orang itu. Ibaratkanlah, partikel hidup kita adalah rangkaian abjad dari A-Z. Pada satu waktu kita membagikan A-D kepada orang pertama, di lain waktu dengan orang kedua, kita membagikan G-Z. Namun, deretan abjad tersebut sebenarnya dihimpun dari beragam abjad lagi, yang amat kompleks apabila dibagikan keseluruhannya pada orang lain sehingga sepenuhnya, orang lain tersebut tidak penuh dalam mengetahui rangkaian abjad yang dibagikan tersebut. Maka dari itu, nggak ada istilah “Gue tahu banget tentang dia”, “Gue sih khatam banget semua ‘kartunya’ dia”. Sejatinya, meskipun memang manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, seorang manusia tetap memiliki bagian personal yang tidak ingin disentuh oleh pihak lain.

Hal terpenting dari beribu bentuk serta anggapan mengenai kedekatan dan intensitas yang tercipta antara individu dengan individu lain adalah cara menyikapi kedekatan tersebut. Kelekatan terbentuk dari peletakannya.
Letakkanlah perilaku kita pada orang lain dengan tepat dan hargai setiap batasan yang mereka miliki karena batasan tersebut bukan bermaksud untuk membatasi atau menilai suatu kedekatan sebagai hal yang tidak bernilai, tetapi untuk mengetahui di mana dan sampai mana keberadaan seseorang pada hidup orang lain sehingga kita tidak perlu merumitkan poin yang ada di luar dari hak kita.

Kedekatan bukanlah persentase yang dapat dipecahkan dengan satuan nominal, ia hanya baur sosial yang melebur normal.

Sebagai manusia, bermanusialah kepada manusia.
Cheers,
Sji. :)

Comments

Popular posts from this blog

Air itu Bernama Waktu

di ambang pintu, deru tubuh menyala. deras ingatan perihal lakumu tanpa aba-aba, sambutku seadanya. puing-puing kata terbenam di rahang, kebekuan menyeruak lebih jerit, melewati genggaman kendali. getir memelik, setara langit memeluk muram pijar sekitarnya. menoleh ke depan, digulung canggung. saling sekarat menyimpan? saat semua ini kau baca, jelaga tatapmu ialah sepahit-pahitnya sesal di rongga dada. tak pernah kubahas, terkutuk sebatang kara.  biarkan aku menyelam, dalam. agar kau ingat bahwa dirimu tak pernah benar-benar mengalir sendiri. masihkah ada di sana? - S.

Bukan Pandemi, Pedih yang Perlu Didampingi

hari ini kita saling merasakan hal yang sama; pedih. iya, kita hanya memiliki sedikit celah untuk menampik bahwa hari ini kita mengenyam pedih teramat dalam. kita tak bisa lagi pura-pura biasa dengan kepedihan, sebab hari ini kita bisa dengan lepas menuangkan pedih tersebut tanpa beban. pandemi memang bukan satu-satunya masalah yang pernah atau sedang kita alami sepanjang menghela napas duniawi, begitu pun dengan serangkaian masalah yang pernah kita temui. sebuah perkara, apapun itu, tidak pernah dimainkan oleh aktor tunggal. artinya, kita bukanlah satu-satunya orang yang berlakon, tetapi hanya sebagai salah satunya. bukan, bukan Tuhan malas menciptakan masalah. toh, bukannya masalah muncul karena sebuah pilihan yang tak menghadirkan Tuhan, ya? ah, sudahlah. kembali lagi, pandemi adalah penderitaan, sekaligus perayaan kolektif. narasi seksis tentang pria yang dianggap tak wajar karena menangis atau lebih identik dengan perihal bengis, rasanya tak lagi relevan di situasi kini. sia...

Enam, Dua Ribu Dua Puluh

Bersembunyi jadi barang pasti ketika risau mengakui. Haruskah menipu diri, sementara dengan jelas kau tumpuk pedih itu sendiri? Tak mampukah lagi berbagi? Semisal alur mengalir seperti biasa, pun ketika berdesak deras dengan hujan, kau tetap bisa menuturnya perlahan. Sebaliknya, kau justru lebih gemar mendekap hangat kemelu, sibuk senyap menerka pernyataan, lalu lenyap dalam pertanyaan. Jika menulis ialah mengerti, serta membaca adalah memahami, jarak antara paragraf ini dan sebelumnya serupa utas dan pintu baru bahwa kita tak pernah benar-benar tuntas. Namun, akankah "kita" benar-benar ada? -S.