Skip to main content

Hingar Dengar


Apa yang dilakukan ibu di rumah dengan aku di Ibu Kota ternyata tidak jauh berbeda. Kami memiliki kegiatan yang sama, yaitu menjadi pendengar orang lain atas ceritanya. Kami tak pernah mengeluh dengan apa yang diceritakan oleh mereka, yang kami pun sebenarnya belum lama mengenalnya. Kernyit di dahi terkadang ada, tetapi anggaplah itu sebagai gurat kepedulian.

Aku sebenarnya hampir bingung ketika satu per satu dari mereka menceritakan apa yang selama ini mereka alami, cerita besar di dalam hidupnya, atau bahkan aib sekalipun. Respon bingungku hanya berlangsung seketika dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada mereka yang telah bersedia bercerita. Namun, aku kini tidak lagi bingung karena di depan teras rumahku, ku temukan percakapan sepasang ibu rumah tangga sedang bercengkrama. Pihak pertama dengan jelalatan mulutnya bercerita, sedang pihak kedua, menyiapkan telinga dengan apa adanya bagai sudah terbiasa dengan hadirnya. Tentu saja, pihak kedua itu adalah ibuku sendiri.

Suaranya tampak jelas menggebu meskipun ku dengar suara itu dengan dibatasi oleh tirai dan pintu kayu yang cukup tebal. Intinya, percakapan tersebut sedang membahas suatu cerita mengenai perceraian pihak pertama, tanpa ku tahu detail pastinya, dan bukan menjadi ranahku untuk mengetahui detail ceritanya.

Aku bukan ingin mengangkat apa yang diceritakan oleh pihak pertama alias teman ibu, tetapi dari situ aku menyadari, hal sederhana menjadi seorang pendengar saja, ternyata aku warisi dari ibu. Aku yang sejak kecil masih setia mengekor dengan ibu, hanyalah seseorang dengan tatapan kosong apabila melihat orang lain menggegaskan raganya untuk bercerita pada ibu. Pikirku, apakah mereka tidak punya tempat cerita lain? Kenapa harus ibuku? Bukankah mereka juga memiliki keluarga? Ah, apapun alasannya, mungkin ibu adalah sosok manusia yang nyaman menjadi tempat untuk meluapkan segala macam bentuk cerita yang berbeda setiap harinya.

Kini, entah berapa belas tahun kemudian, aku mengakui bahwa ada bagian dari ibu yang aku bawa meskipun hanya sedikit adanya. Namun, entah aku terlambat untuk sadar atau terlambat melakukan kalkulasi waktu, sebenarnya menjadi pendengar bagi cerita orang lain sudah ku tempuh dari masa tatapanku masih kosong (re: sejak kecil). Aku masih ingat, kala itu sahabatku di masa sekolah dasar bercerita tak seperti biasanya, dengan bersembunyi di lorong kamar mandi, ia bercerita dengan suara sayup mengenai masalah keluarganya yang begitu pelik. Aku dipaksa untuk tidak menceritakan cerita itu kepada siapapun. Lalu, jika memang ia tidak menaruh kepercayaan denganku, mengapa aku harus dipaksa? Kilas balik ke masa tersebut, andai aku menapakinya saat sudah dewasa, mungkin akan ku ucapkan terima kasih kepada sahabatku saat itu juga karena momentum pertama itu membuatku mengetahui perbedaan sebuah titipan dan sebuah beban.

Cerita dia, cerita mereka, cerita orang lain yang hinggap di telingaku adalah sebuah titipan untukku. Sebuah titipan untuk aku kembangkan menjadi suatu pelajaran. Sebuah titipan kepercayaan, bukan hanya sekadar percaya bahwa aku tidak akan membeberkannya ke orang lain. Namun, percaya bahwa tidak alasan untukku untuk tidak bersyukur dan lebih menghargai apa yang ada di hidupku saat ini. Saat aku merasa dunia ini terlalu berat untuk aku arungi, mereka yang dengan nyata ditimpa ombak besar, masih berusaha keras untuk terus mengayuh perahu keyakinan meskipun jurang kejatuhan sangat tipis berada di depannya.

Aku terdiam.

Perihal kepercayaan, aku rasa jika seorang insan sudi untuk bercerita tentang kehidupan pribadinya kepada insan lain, seharusnya kata tersebut tak perlu lagi menguap sebelum atau setelah kisahnya ia ceritakan. Lagipula, mana bisa engkau berkata pada orang yang jelas tak kau percaya?

Apapun itu, aku hanya bersyukur ibu telah menurunkan sesuatu yang entah akan ku sebut itu bakat, mukjizat, atau kemampuan kepadaku. Mendengar memang cara paling ampuh untuk mengenal dan menerjemahkan hal-hal di dalam bahkan di luar diri kita sendiri. Aku yang sudah kenal ibu semasa masih di kandungnya, menjadi lebih mengenalnya meskipun aku tak mendengar langsung sesuatu yang keluar dari mulutnya, tetapi aku tahu, bahwa salah satu sumber kekuatan ibu selama ini salah satunya dengan beliau menjadi pendengar yang baik.

Kisah ini bukan untuk menjadi sebuah tanda selamat apalagi penyelamat bagi ibuku dan ibu-ibu lain di luar sana. Justru merekalah yang menyelamatkan kisah ini sehingga berakhir manis sebagaimana mestinya.

Setiap hari adalah hari istimewa untuk seluruh ibu dan calon ibu di manapun.

Comments

Popular posts from this blog

Air itu Bernama Waktu

di ambang pintu, deru tubuh menyala. deras ingatan perihal lakumu tanpa aba-aba, sambutku seadanya. puing-puing kata terbenam di rahang, kebekuan menyeruak lebih jerit, melewati genggaman kendali. getir memelik, setara langit memeluk muram pijar sekitarnya. menoleh ke depan, digulung canggung. saling sekarat menyimpan? saat semua ini kau baca, jelaga tatapmu ialah sepahit-pahitnya sesal di rongga dada. tak pernah kubahas, terkutuk sebatang kara.  biarkan aku menyelam, dalam. agar kau ingat bahwa dirimu tak pernah benar-benar mengalir sendiri. masihkah ada di sana? - S.

Bukan Pandemi, Pedih yang Perlu Didampingi

hari ini kita saling merasakan hal yang sama; pedih. iya, kita hanya memiliki sedikit celah untuk menampik bahwa hari ini kita mengenyam pedih teramat dalam. kita tak bisa lagi pura-pura biasa dengan kepedihan, sebab hari ini kita bisa dengan lepas menuangkan pedih tersebut tanpa beban. pandemi memang bukan satu-satunya masalah yang pernah atau sedang kita alami sepanjang menghela napas duniawi, begitu pun dengan serangkaian masalah yang pernah kita temui. sebuah perkara, apapun itu, tidak pernah dimainkan oleh aktor tunggal. artinya, kita bukanlah satu-satunya orang yang berlakon, tetapi hanya sebagai salah satunya. bukan, bukan Tuhan malas menciptakan masalah. toh, bukannya masalah muncul karena sebuah pilihan yang tak menghadirkan Tuhan, ya? ah, sudahlah. kembali lagi, pandemi adalah penderitaan, sekaligus perayaan kolektif. narasi seksis tentang pria yang dianggap tak wajar karena menangis atau lebih identik dengan perihal bengis, rasanya tak lagi relevan di situasi kini. sia...

Enam, Dua Ribu Dua Puluh

Bersembunyi jadi barang pasti ketika risau mengakui. Haruskah menipu diri, sementara dengan jelas kau tumpuk pedih itu sendiri? Tak mampukah lagi berbagi? Semisal alur mengalir seperti biasa, pun ketika berdesak deras dengan hujan, kau tetap bisa menuturnya perlahan. Sebaliknya, kau justru lebih gemar mendekap hangat kemelu, sibuk senyap menerka pernyataan, lalu lenyap dalam pertanyaan. Jika menulis ialah mengerti, serta membaca adalah memahami, jarak antara paragraf ini dan sebelumnya serupa utas dan pintu baru bahwa kita tak pernah benar-benar tuntas. Namun, akankah "kita" benar-benar ada? -S.