Apa yang
dilakukan ibu di rumah dengan aku di Ibu Kota ternyata tidak jauh berbeda. Kami
memiliki kegiatan yang sama, yaitu menjadi pendengar orang lain atas ceritanya.
Kami tak pernah mengeluh dengan apa yang diceritakan oleh mereka, yang kami pun
sebenarnya belum lama mengenalnya. Kernyit di dahi terkadang ada, tetapi anggaplah
itu sebagai gurat kepedulian.
Aku sebenarnya
hampir bingung ketika satu per satu dari mereka menceritakan apa yang selama
ini mereka alami, cerita besar di dalam hidupnya, atau bahkan aib sekalipun.
Respon bingungku hanya berlangsung seketika dengan tidak mengurangi rasa hormat
kepada mereka yang telah bersedia bercerita. Namun, aku kini tidak lagi bingung
karena di depan teras rumahku, ku temukan percakapan sepasang ibu rumah tangga
sedang bercengkrama. Pihak pertama dengan jelalatan mulutnya bercerita, sedang
pihak kedua, menyiapkan telinga dengan apa adanya bagai sudah terbiasa dengan
hadirnya. Tentu saja, pihak kedua itu adalah ibuku sendiri.
Suaranya
tampak jelas menggebu meskipun ku dengar suara itu dengan dibatasi oleh tirai
dan pintu kayu yang cukup tebal. Intinya, percakapan tersebut sedang membahas
suatu cerita mengenai perceraian pihak pertama, tanpa ku tahu detail pastinya,
dan bukan menjadi ranahku untuk mengetahui detail ceritanya.
Aku bukan
ingin mengangkat apa yang diceritakan oleh pihak pertama alias teman ibu,
tetapi dari situ aku menyadari, hal sederhana menjadi seorang pendengar saja, ternyata aku warisi dari
ibu. Aku yang sejak kecil masih setia mengekor dengan ibu, hanyalah seseorang
dengan tatapan kosong apabila melihat orang lain menggegaskan raganya untuk
bercerita pada ibu. Pikirku, apakah mereka tidak punya tempat cerita lain?
Kenapa harus ibuku? Bukankah mereka juga memiliki keluarga? Ah, apapun
alasannya, mungkin ibu adalah sosok manusia yang nyaman menjadi tempat untuk
meluapkan segala macam bentuk cerita yang berbeda setiap harinya.
Kini, entah
berapa belas tahun kemudian, aku mengakui bahwa ada bagian dari ibu yang aku
bawa meskipun hanya sedikit adanya. Namun, entah aku terlambat untuk sadar atau
terlambat melakukan kalkulasi waktu, sebenarnya menjadi pendengar bagi cerita
orang lain sudah ku tempuh dari masa tatapanku masih kosong (re: sejak kecil).
Aku masih ingat, kala itu sahabatku di masa sekolah dasar bercerita tak seperti
biasanya, dengan bersembunyi di lorong kamar mandi, ia bercerita dengan suara sayup
mengenai masalah keluarganya yang begitu pelik. Aku dipaksa untuk tidak
menceritakan cerita itu kepada siapapun. Lalu, jika memang ia tidak menaruh
kepercayaan denganku, mengapa aku harus dipaksa? Kilas balik ke masa tersebut,
andai aku menapakinya saat sudah dewasa, mungkin akan ku ucapkan terima kasih
kepada sahabatku saat itu juga karena momentum pertama itu membuatku mengetahui
perbedaan sebuah titipan dan sebuah beban.
Cerita dia,
cerita mereka, cerita orang lain yang hinggap di telingaku adalah sebuah
titipan untukku. Sebuah titipan untuk aku kembangkan menjadi suatu pelajaran.
Sebuah titipan kepercayaan, bukan hanya sekadar percaya bahwa aku tidak akan membeberkannya
ke orang lain. Namun, percaya bahwa tidak alasan untukku untuk tidak bersyukur
dan lebih menghargai apa yang ada di hidupku saat ini. Saat aku merasa dunia
ini terlalu berat untuk aku arungi, mereka yang dengan nyata ditimpa ombak
besar, masih berusaha keras untuk terus mengayuh perahu keyakinan meskipun
jurang kejatuhan sangat tipis berada di depannya.
Aku terdiam.
Perihal
kepercayaan, aku rasa jika seorang insan sudi untuk bercerita tentang kehidupan
pribadinya kepada insan lain, seharusnya kata tersebut tak perlu lagi menguap
sebelum atau setelah kisahnya ia ceritakan. Lagipula, mana bisa engkau berkata
pada orang yang jelas tak kau percaya?
Apapun itu,
aku hanya bersyukur ibu telah menurunkan sesuatu yang entah akan ku sebut itu
bakat, mukjizat, atau kemampuan kepadaku. Mendengar memang cara paling ampuh
untuk mengenal dan menerjemahkan hal-hal di dalam bahkan di luar diri kita
sendiri. Aku yang sudah kenal ibu semasa masih di kandungnya, menjadi lebih
mengenalnya meskipun aku tak mendengar langsung sesuatu yang keluar dari
mulutnya, tetapi aku tahu, bahwa salah satu sumber kekuatan ibu selama ini
salah satunya dengan beliau menjadi pendengar yang baik.
Kisah ini
bukan untuk menjadi sebuah tanda selamat apalagi penyelamat bagi ibuku dan ibu-ibu
lain di luar sana. Justru merekalah yang menyelamatkan kisah ini sehingga
berakhir manis sebagaimana mestinya.
Setiap hari
adalah hari istimewa untuk seluruh ibu dan calon ibu di manapun.
Comments
Post a Comment