Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2020

Enam, Dua Ribu Dua Puluh

Bersembunyi jadi barang pasti ketika risau mengakui. Haruskah menipu diri, sementara dengan jelas kau tumpuk pedih itu sendiri? Tak mampukah lagi berbagi? Semisal alur mengalir seperti biasa, pun ketika berdesak deras dengan hujan, kau tetap bisa menuturnya perlahan. Sebaliknya, kau justru lebih gemar mendekap hangat kemelu, sibuk senyap menerka pernyataan, lalu lenyap dalam pertanyaan. Jika menulis ialah mengerti, serta membaca adalah memahami, jarak antara paragraf ini dan sebelumnya serupa utas dan pintu baru bahwa kita tak pernah benar-benar tuntas. Namun, akankah "kita" benar-benar ada? -S.

Lima, Dua Ribu Dua Puluh

Ada ekspektasi yang diam-diam bersembunyi, bermuara di palung paling rahasia Kepalaku sibuk menerjemahkan yang dirasa, pada setiap apa-apa yang terjadi Aku harus mengalahkan ego dengan telak agar ia tak bebas berlari-lari dalam benak Menguncinya terlelap, hingga tak bersekongkol lagi dengan sudut tergelap Bisakah perubahan ini aku terima dengan sebijak-bijaknya bahagia? - S.

Empat, Dua Ribu Dua Puluh

Hari ini, akalku masih bersanding dengan temaram semalam Aku yang tak biasanya bersuara, Kali itu melontarkan suaan dengan cuma-cuma Dinding kehilangan seperti tak bersekat, Menandakan ada pilu yang harus ku peluk erat Mungkin benar, tak seharusnya muram ini ditelan mentah-mentah, tetapi.... Bagaimana bila nyatanya aku telah sampai di ujung harapan? - S.

Tiga, Dua Ribu Dua Puluh

kegelisahan dibiarkan menjalang, kian hari kian berkonstelasi, membentuk entitas paling keruh pada nurani suaramu terdengar lirih, apakah yang menguar hanya pedih? lara seakan sedang mengatur ritmenya, untuk hadir merayakan cemas yang lama berpesta di kepala malu-malu memahami makna, seraya berandai agar kelak cukupnya rasa mampu membuat kami bersinggung di rotasi yang sama bukankah persinggahan bisa berganti peran menjadi sebuah pemberhentian? - S.