hari ini kita saling merasakan hal yang sama; pedih. iya, kita hanya memiliki sedikit celah untuk menampik bahwa hari ini kita mengenyam pedih teramat dalam.
kita tak bisa lagi pura-pura biasa dengan kepedihan, sebab hari ini kita bisa dengan lepas menuangkan pedih tersebut tanpa beban.
pandemi memang bukan satu-satunya masalah yang pernah atau sedang kita alami sepanjang menghela napas duniawi, begitu pun dengan serangkaian masalah yang pernah kita temui. sebuah perkara, apapun itu, tidak pernah dimainkan oleh aktor tunggal. artinya, kita bukanlah satu-satunya orang yang berlakon, tetapi hanya sebagai salah satunya. bukan, bukan Tuhan malas menciptakan masalah. toh, bukannya masalah muncul karena sebuah pilihan yang tak menghadirkan Tuhan, ya? ah, sudahlah.
kembali lagi, pandemi adalah penderitaan, sekaligus perayaan kolektif. narasi seksis tentang pria yang dianggap tak wajar karena menangis atau lebih identik dengan perihal bengis, rasanya tak lagi relevan di situasi kini.
siapapun yang hidup di era pandemi dibebaskan mengeluh, meluapkan, dan mengekspresikan apapun perasaannya. tak peduli identitas, asal tetap waras.
terlebih sekarang dunia daring jadi semakin nyaring memanggil untuk ikut dilibatkan sebagai medium mengeluh nomor satu.
ketidaksiagaan kita terhadap virus jadi tempat bersalin keluhan itu sendiri. selain tidak siaga dengan ketidakpastian, pandemi pun mengindikasi bahwa kita sebenarnya tidak siaga dengan hal-hal yang pasti. lagipula, fenomena perihal viras-virus ini sebenarnya sudah lama menggaung, kan? tetapi tiap-tiap dari kita justru urung. barulah jika sudah berada di titik melampaui kepastian seperti ini, kita berlomba-lomba bersikap murung. padahal sikap denial tadi yang mengantar kita ke fase "new normal". jika benar penyesalan itu mutlak selalu ada di akhir, apakah tidak ada yang bisa datang lebih awal selain 'pendaftaran'? ada, kok. mari kenalan, namanya adalah "kesadaran".
kita memang tidak pernah mampu berkompromi dengan waktu, kita juga pasti enggan menjalin keakrabkan dengan pandemi. namun, kita bisa hidup berdampingan dengan kepedihan.
pernyataan di kalimat terakhir sebelum ini mungkin saja terdengar kontra dengan imbauan kepala negara dan segelintir sosok yang berlingkup di belakangnya, tetapi jika boleh menelisik, pandemi seakan tidak lebih kompleks dari iklim-iklim sendu yang diakibatkan olehnya.
sejalan dengan bahagia, kepedihan pun bukan satu-satunya rasa. izinkan pedih bernaung dalam sudut paling romantis.
tak perlu ditepis, pedih pun mengerti jika ia nantinya akan terganti.
mengakui dan menikmati segala perasaan yang terbubuh dalam diri—termasuk pedih—ialah bentuk seremoni sederhana untuk mengaktualisasi perasaan. sama seperti manusia, derai-derai perasaan pun tak mau jadi substansi yang diabaikan.
selamat pedih,
kamu tak sendiri.
- S.
kita tak bisa lagi pura-pura biasa dengan kepedihan, sebab hari ini kita bisa dengan lepas menuangkan pedih tersebut tanpa beban.
pandemi memang bukan satu-satunya masalah yang pernah atau sedang kita alami sepanjang menghela napas duniawi, begitu pun dengan serangkaian masalah yang pernah kita temui. sebuah perkara, apapun itu, tidak pernah dimainkan oleh aktor tunggal. artinya, kita bukanlah satu-satunya orang yang berlakon, tetapi hanya sebagai salah satunya. bukan, bukan Tuhan malas menciptakan masalah. toh, bukannya masalah muncul karena sebuah pilihan yang tak menghadirkan Tuhan, ya? ah, sudahlah.
kembali lagi, pandemi adalah penderitaan, sekaligus perayaan kolektif. narasi seksis tentang pria yang dianggap tak wajar karena menangis atau lebih identik dengan perihal bengis, rasanya tak lagi relevan di situasi kini.
siapapun yang hidup di era pandemi dibebaskan mengeluh, meluapkan, dan mengekspresikan apapun perasaannya. tak peduli identitas, asal tetap waras.
terlebih sekarang dunia daring jadi semakin nyaring memanggil untuk ikut dilibatkan sebagai medium mengeluh nomor satu.
ketidaksiagaan kita terhadap virus jadi tempat bersalin keluhan itu sendiri. selain tidak siaga dengan ketidakpastian, pandemi pun mengindikasi bahwa kita sebenarnya tidak siaga dengan hal-hal yang pasti. lagipula, fenomena perihal viras-virus ini sebenarnya sudah lama menggaung, kan? tetapi tiap-tiap dari kita justru urung. barulah jika sudah berada di titik melampaui kepastian seperti ini, kita berlomba-lomba bersikap murung. padahal sikap denial tadi yang mengantar kita ke fase "new normal". jika benar penyesalan itu mutlak selalu ada di akhir, apakah tidak ada yang bisa datang lebih awal selain 'pendaftaran'? ada, kok. mari kenalan, namanya adalah "kesadaran".
kita memang tidak pernah mampu berkompromi dengan waktu, kita juga pasti enggan menjalin keakrabkan dengan pandemi. namun, kita bisa hidup berdampingan dengan kepedihan.
pernyataan di kalimat terakhir sebelum ini mungkin saja terdengar kontra dengan imbauan kepala negara dan segelintir sosok yang berlingkup di belakangnya, tetapi jika boleh menelisik, pandemi seakan tidak lebih kompleks dari iklim-iklim sendu yang diakibatkan olehnya.
sejalan dengan bahagia, kepedihan pun bukan satu-satunya rasa. izinkan pedih bernaung dalam sudut paling romantis.
tak perlu ditepis, pedih pun mengerti jika ia nantinya akan terganti.
mengakui dan menikmati segala perasaan yang terbubuh dalam diri—termasuk pedih—ialah bentuk seremoni sederhana untuk mengaktualisasi perasaan. sama seperti manusia, derai-derai perasaan pun tak mau jadi substansi yang diabaikan.
selamat pedih,
kamu tak sendiri.
- S.
Comments
Post a Comment