Skip to main content

Catatan dari Dua Puluh Dua

detik-detik yang sedang berjalan menuju pukul nol-nol nanti ialah sisa angka yang dapat disesap di usia dua puluh dua tahun ini.

jika boleh mengamati ke belakang, satu tahun terakhir ialah perjalanan yang cukup panjang, perjalanan yang teramat dalam karena aku dapat lebih menyadari diriku sendiri di saat sebelumnya selalu mencari di mana diri ini.

aku sedang tidak ingin menimbang kepahitan atau manisnya, sebab aku tidak butuh tahu mana yang paling tinggi kadarnya. bagiku, semua rasa hadir untuk menyeimbangkanku sebagai manusia.

tahun ini merupakan petualanganku untuk merasakan seutuh-utuhnyanya apa yang terjadi. belajar untuk tidak membelakangi takdir, pun menafikan diri dari apa yang seharusnya dilewati dan yang sejauh ini aku temui.

tangan Tuhan diperpanjang lewat beragam peristiwa dan sosok yang tak diduga awalnya. banyak yang tak sesuai nalar untuk menyentuh nurani, serta ada pula yang terjadi tanpa permisi terlebih dahulu pada hati, ketika di sisi lain sebenarnya hal tersebut paling memanggil akal.

dua puluh dua tahun jadi momentum menerima sebuah penerimaan, melepaskan yang janggal, menyulam yang tinggal dan tanggal. banyak cara-cara bertahan yang berubah karena tersadar bahwa cahaya tak selalu bicara hal yang sama agar tetap berpendar.

dapat dikatakan, dua puluh dua tahun adalah usia yang emosional, sebab di sinilah transisi dari labil ke keinginan menuju stabil.

teruntuk diriku di dua puluh dua, terima kasih sudah berjalan dengan lapang. ada dua puluh tiga sekarang yang menunggu di depan sana dan membiarkan dirimu berjuang.

selamat melanjutkan, memulai, mencoba kembali, serta bertemu gagal dan keberhasilan yang lainnya lagi.

ada tiga hal dari dua puluh dua yang bisa kau jadikan bekal; kontemplasi, apresiasi, empati.

- S.
ditulis di pukul 08.38 WIB.

Comments

  1. Bagus! Kenapa tidak ada unggahan lagi? tengah rehat menata hati atau sibuk meyusuri hari? ada seorang yang sedang menanti, disini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai, terima kasih telah mengapresiasi. Memang sudah beberapa waktu tidak membuka laman ini. Doakan semoga akan ada kata-kata yang dibagikan lagi, ya. Dan kurasa, menanti itu lebih sulit daripada membuka diri. Apakah tidak bisa dijadikan opsi?

      Tabik,
      S.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Air itu Bernama Waktu

di ambang pintu, deru tubuh menyala. deras ingatan perihal lakumu tanpa aba-aba, sambutku seadanya. puing-puing kata terbenam di rahang, kebekuan menyeruak lebih jerit, melewati genggaman kendali. getir memelik, setara langit memeluk muram pijar sekitarnya. menoleh ke depan, digulung canggung. saling sekarat menyimpan? saat semua ini kau baca, jelaga tatapmu ialah sepahit-pahitnya sesal di rongga dada. tak pernah kubahas, terkutuk sebatang kara.  biarkan aku menyelam, dalam. agar kau ingat bahwa dirimu tak pernah benar-benar mengalir sendiri. masihkah ada di sana? - S.

Bukan Pandemi, Pedih yang Perlu Didampingi

hari ini kita saling merasakan hal yang sama; pedih. iya, kita hanya memiliki sedikit celah untuk menampik bahwa hari ini kita mengenyam pedih teramat dalam. kita tak bisa lagi pura-pura biasa dengan kepedihan, sebab hari ini kita bisa dengan lepas menuangkan pedih tersebut tanpa beban. pandemi memang bukan satu-satunya masalah yang pernah atau sedang kita alami sepanjang menghela napas duniawi, begitu pun dengan serangkaian masalah yang pernah kita temui. sebuah perkara, apapun itu, tidak pernah dimainkan oleh aktor tunggal. artinya, kita bukanlah satu-satunya orang yang berlakon, tetapi hanya sebagai salah satunya. bukan, bukan Tuhan malas menciptakan masalah. toh, bukannya masalah muncul karena sebuah pilihan yang tak menghadirkan Tuhan, ya? ah, sudahlah. kembali lagi, pandemi adalah penderitaan, sekaligus perayaan kolektif. narasi seksis tentang pria yang dianggap tak wajar karena menangis atau lebih identik dengan perihal bengis, rasanya tak lagi relevan di situasi kini. sia...

Enam, Dua Ribu Dua Puluh

Bersembunyi jadi barang pasti ketika risau mengakui. Haruskah menipu diri, sementara dengan jelas kau tumpuk pedih itu sendiri? Tak mampukah lagi berbagi? Semisal alur mengalir seperti biasa, pun ketika berdesak deras dengan hujan, kau tetap bisa menuturnya perlahan. Sebaliknya, kau justru lebih gemar mendekap hangat kemelu, sibuk senyap menerka pernyataan, lalu lenyap dalam pertanyaan. Jika menulis ialah mengerti, serta membaca adalah memahami, jarak antara paragraf ini dan sebelumnya serupa utas dan pintu baru bahwa kita tak pernah benar-benar tuntas. Namun, akankah "kita" benar-benar ada? -S.