Skip to main content

Bukan Titik

pada suatu waktu yang hanya berjarak sejengkal dari tangisku sekarang, ada harapan karam diterjang sebuah ambisi yang enggan berpulang. ia masih ingin berlayar meskipun lelahnya kian mengakar.


andai isi kepalaku tak berlomba memutar ketakutan, air pasang nan jauh di sana lantas tak membuatku segera sesak. aku bak seorang pengungsi di dalam diriku sendiri. aku ingin menelanjangi semua rambu, bersetubuh dengan belokan tajam, lalu menggenggam erat mimpiku pulang.


hari ini, aku memang masih punya ruang: untuk bersenang, mengenang. tapi tidak ada tenang yang bertaut di sana. titik-titik lengang seolah hanya huruf konsonan yang terpuruk kesepian.


aku sedang tidak berbicara tentang mematahkan ranting atau sekadar menyatukan puing dan bukan bagaimana nanti dinginnya kakiku sampai dalam pijakan terakhir. hebatnya, aku kerap menggusur takdir, pura-pura tak mau semuanya berakhir padahal telah lama berpapasan dengan akhir itu sendiri. 


waktu tak pernah mengenal kata renta,

dan api di sana tak akan hangus dibasuh penantian.


berjalan,


- S.

Comments

Popular posts from this blog

Air itu Bernama Waktu

di ambang pintu, deru tubuh menyala. deras ingatan perihal lakumu tanpa aba-aba, sambutku seadanya. puing-puing kata terbenam di rahang, kebekuan menyeruak lebih jerit, melewati genggaman kendali. getir memelik, setara langit memeluk muram pijar sekitarnya. menoleh ke depan, digulung canggung. saling sekarat menyimpan? saat semua ini kau baca, jelaga tatapmu ialah sepahit-pahitnya sesal di rongga dada. tak pernah kubahas, terkutuk sebatang kara.  biarkan aku menyelam, dalam. agar kau ingat bahwa dirimu tak pernah benar-benar mengalir sendiri. masihkah ada di sana? - S.

Bukan Pandemi, Pedih yang Perlu Didampingi

hari ini kita saling merasakan hal yang sama; pedih. iya, kita hanya memiliki sedikit celah untuk menampik bahwa hari ini kita mengenyam pedih teramat dalam. kita tak bisa lagi pura-pura biasa dengan kepedihan, sebab hari ini kita bisa dengan lepas menuangkan pedih tersebut tanpa beban. pandemi memang bukan satu-satunya masalah yang pernah atau sedang kita alami sepanjang menghela napas duniawi, begitu pun dengan serangkaian masalah yang pernah kita temui. sebuah perkara, apapun itu, tidak pernah dimainkan oleh aktor tunggal. artinya, kita bukanlah satu-satunya orang yang berlakon, tetapi hanya sebagai salah satunya. bukan, bukan Tuhan malas menciptakan masalah. toh, bukannya masalah muncul karena sebuah pilihan yang tak menghadirkan Tuhan, ya? ah, sudahlah. kembali lagi, pandemi adalah penderitaan, sekaligus perayaan kolektif. narasi seksis tentang pria yang dianggap tak wajar karena menangis atau lebih identik dengan perihal bengis, rasanya tak lagi relevan di situasi kini. sia...

Enam, Dua Ribu Dua Puluh

Bersembunyi jadi barang pasti ketika risau mengakui. Haruskah menipu diri, sementara dengan jelas kau tumpuk pedih itu sendiri? Tak mampukah lagi berbagi? Semisal alur mengalir seperti biasa, pun ketika berdesak deras dengan hujan, kau tetap bisa menuturnya perlahan. Sebaliknya, kau justru lebih gemar mendekap hangat kemelu, sibuk senyap menerka pernyataan, lalu lenyap dalam pertanyaan. Jika menulis ialah mengerti, serta membaca adalah memahami, jarak antara paragraf ini dan sebelumnya serupa utas dan pintu baru bahwa kita tak pernah benar-benar tuntas. Namun, akankah "kita" benar-benar ada? -S.