Berkaca pada retak langit dini hari tadi yang tak bermaksud mengutuk pagi, mengecualikan seteru karena semua yang terjadi tak pernah berwajah tunggal. Bahkan jika memang tidak, kekeliruan hanyalah apa yang bersarang di kepala. Menghantam dan melimpahkan—diri sendiri ataupun orang lain—hanya akan mengisolasi hak yang dimiliki. Menyamarkan apa yang sungguh kita ingin dan butuh. Sudah barang tentu, kita punya kemampuan untuk mencerna, tetapi polusi yang tidak relevan menjadikan apa yang seharusnya dilampaui ikut terpinggirkan. Belakangan kita jadi tahu bahwa kita bukan mencoba untuk menerjemahkan pikiran, melainkan mengeksploitasinya cuma-cuma. Di antara maksud baik ini, kita bertanya: Apa rasanya jadi dirimu? Apa rasanya jadi diriku? Mendera, menderu, tak mau disandera. Sedang harmoni tak bisa tercipta dengan begitu saja. Sampai kapan? Mungkin sampai nanti hatimu sentuh rasa lega, sampai kau mengerti biasmu tak perlu menakar-bakar ragu. - S
Memilih untuk menjelma menjadi tahu. Mungkin, kamu mau tahu.