Skip to main content

Menghidupi Kembali

Berkaca pada retak langit dini hari tadi yang tak bermaksud mengutuk pagi, mengecualikan seteru karena semua yang terjadi tak pernah berwajah tunggal. Bahkan jika memang tidak, kekeliruan hanyalah apa yang bersarang di kepala. Menghantam dan melimpahkan—diri sendiri ataupun orang lain—hanya akan mengisolasi hak yang dimiliki. Menyamarkan apa yang sungguh kita ingin dan butuh.

Sudah barang tentu, kita punya kemampuan untuk mencerna, tetapi polusi yang tidak relevan menjadikan apa yang seharusnya dilampaui ikut terpinggirkan. Belakangan kita jadi tahu bahwa kita bukan mencoba untuk menerjemahkan pikiran, melainkan mengeksploitasinya cuma-cuma.


Di antara maksud baik ini, kita bertanya:

Apa rasanya jadi dirimu? Apa rasanya jadi diriku?

Mendera, menderu, tak mau disandera. Sedang harmoni tak bisa tercipta dengan begitu saja.


Sampai kapan?

Mungkin sampai nanti hatimu sentuh rasa lega, sampai kau mengerti biasmu tak perlu menakar-bakar ragu. 

- S

Comments

Popular posts from this blog

Air itu Bernama Waktu

di ambang pintu, deru tubuh menyala. deras ingatan perihal lakumu tanpa aba-aba, sambutku seadanya. puing-puing kata terbenam di rahang, kebekuan menyeruak lebih jerit, melewati genggaman kendali. getir memelik, setara langit memeluk muram pijar sekitarnya. menoleh ke depan, digulung canggung. saling sekarat menyimpan? saat semua ini kau baca, jelaga tatapmu ialah sepahit-pahitnya sesal di rongga dada. tak pernah kubahas, terkutuk sebatang kara.  biarkan aku menyelam, dalam. agar kau ingat bahwa dirimu tak pernah benar-benar mengalir sendiri. masihkah ada di sana? - S.

Bukan Pandemi, Pedih yang Perlu Didampingi

hari ini kita saling merasakan hal yang sama; pedih. iya, kita hanya memiliki sedikit celah untuk menampik bahwa hari ini kita mengenyam pedih teramat dalam. kita tak bisa lagi pura-pura biasa dengan kepedihan, sebab hari ini kita bisa dengan lepas menuangkan pedih tersebut tanpa beban. pandemi memang bukan satu-satunya masalah yang pernah atau sedang kita alami sepanjang menghela napas duniawi, begitu pun dengan serangkaian masalah yang pernah kita temui. sebuah perkara, apapun itu, tidak pernah dimainkan oleh aktor tunggal. artinya, kita bukanlah satu-satunya orang yang berlakon, tetapi hanya sebagai salah satunya. bukan, bukan Tuhan malas menciptakan masalah. toh, bukannya masalah muncul karena sebuah pilihan yang tak menghadirkan Tuhan, ya? ah, sudahlah. kembali lagi, pandemi adalah penderitaan, sekaligus perayaan kolektif. narasi seksis tentang pria yang dianggap tak wajar karena menangis atau lebih identik dengan perihal bengis, rasanya tak lagi relevan di situasi kini. sia...

Enam, Dua Ribu Dua Puluh

Bersembunyi jadi barang pasti ketika risau mengakui. Haruskah menipu diri, sementara dengan jelas kau tumpuk pedih itu sendiri? Tak mampukah lagi berbagi? Semisal alur mengalir seperti biasa, pun ketika berdesak deras dengan hujan, kau tetap bisa menuturnya perlahan. Sebaliknya, kau justru lebih gemar mendekap hangat kemelu, sibuk senyap menerka pernyataan, lalu lenyap dalam pertanyaan. Jika menulis ialah mengerti, serta membaca adalah memahami, jarak antara paragraf ini dan sebelumnya serupa utas dan pintu baru bahwa kita tak pernah benar-benar tuntas. Namun, akankah "kita" benar-benar ada? -S.