Skip to main content

Tuang Tiga Malam


03.00 AM. 
Entah engkau menyebutnya larut malam atau terlampau pagi.

Aku sampai pada kekecewaanku yang berkali lipat. Aku tak pernah bisa melihat segala sesuatu dengan jernih saat jarak antara aku dengannya begitu dekat. Mungkin, inilah jawaban atas kegelisahan yang selama itu aku pertanyakan. Ini memang hanya masalah intensitas, dalam hal apapun itu.

Aku pernah berpikir bahwa langkah yang aku pilih adalah sebuah fase diplomatis antara aku dengannya, tanpa sedikit pun bumbu romansa praktis. Aku tak pernah memihak pada dirinya, kecuali dengan kondisi hanya ada dia dengan dirinya sendiri.

Dalam setiap kali pertemuan, aku selalu meninggikan logika di atas segalanya, tetapi semakin aku bersembunyi dalam akal pribadi, aku semakin menemukan bahwa kompisisi seorang wanita memang banyak bernaung dalam naluri.

Sejatinya, memang segala kisah ada untuk berjalan dengan baik ataupun ditujukan untuk suatu kebaikan. Namun, kisah ini baik untuk siapa? Bahkan, untuk diriku sendiri sebenarnya kisah ini tak memberi warna khusus yang membuat aku mempertahankannya tanpa peduli dengan apapun. Tak lain, ini hanyalah penggalan baru dari fase lama, layaknya pintu yang belum sempat tertutup rapat, kemudian terbuka dengan sendiri tanpa sang tamu nyatakan permisi.

Berjalannya waktu, bagiku perasaan bukanlah ia yang hanya memuaskan syahwat sesaat terhadap sosok pria atau semacamnya. Perasaan itu seharusnya ada bak misi yang membangun visi yang kokoh, tetapi aku merasa, aku tak sedang membangun apapun dengan siapapun. Apalagi jika di seberang sana masih ada konstruksi lain yang mendistraksi.

Aku tak sedang apatis terhadap pihak lain. Aku tak hanya ingin dipaksa atau bahkan dijebak mengingat luka yang sudah berhasil aku obati sendiri dengan waktu yang tidak bisa ku hitung dengan jemari.

Aku adalah manusia biasa yang berhak bahagia. Iya, berhak bahagia, bukan berhak bersamamu. Jika dengan tidak bersamamu aku merasa bahagia, maka itulah logika yang sesungguhnya.
Logika dan perasaan bukan pertarungan yang mengungsi dalam diri manusia. Keduanya utuh dalam porsi yang sama, sejajar meski beda rupa.

Comments

Popular posts from this blog

Anotha Kilometers

Your arms feels so bold Allied with the cold You never asked the permission Yet I never asked the questions Thriving in a bliss Not worry if something will be missed Even though it turns out just a fiction I cherish it as the fact, but with a blind vision - S

Em/r(osi)

Aku adalah segala emosi yang tak bertuan Sekian cara ku coba tuk meredam, apalah daya, sanggupku hanya memendam Tanda tanya di kepala ini terus membungkam, menelusup jiwa yang kian geram Asaku seperti mati dibakar diriku sendiri Aku bagai ditunggu pintu-pintu pilu yang terbuka oleh amarah yang menderu Sungguh, inginku hanya reda Aku lelah hal ini terus singgah Lantas, sanggupkah engkau meniup api yang tak bercahaya ini? Dari tengah malam ini, S.

Ada

Waktu merentang, detik demi detik nyala bintang menuntunku pulang—bermula di riuh percakapan dan terbenam di kesunyian, di antara mimpi dan nyata yang tak kenali batasnya. Meletakkan gelisah di palung terdalam, membiarkan ragu luruh menyeberangi sepasang sudut mata. Sebab takdir bukan sepenuhnya milik kita dan melawannya adalah hal sia-sia. Kini, langit bukan lagi abu-abu, selayaknya sepi yang tak lagi jadi tempat berteduh segala sesuatu. Dalam sukacita dan lintasan yang masih jadi rahasia: sentuh tanda tanya, koma, hingga titik sama-sama, - S