Waktu merentang, detik demi detik nyala bintang menuntunku pulang—bermula di riuh percakapan dan terbenam di kesunyian, di antara mimpi dan nyata yang tak kenali batasnya. Meletakkan gelisah di palung terdalam, membiarkan ragu luruh menyeberangi sepasang sudut mata. Sebab takdir bukan sepenuhnya milik kita dan melawannya adalah hal sia-sia. Kini, langit bukan lagi abu-abu, selayaknya sepi yang tak lagi jadi tempat berteduh segala sesuatu. Dalam sukacita dan lintasan yang masih jadi rahasia: sentuh tanda tanya, koma, hingga titik sama-sama, - S
Kita bukanlah pusat segalanya, dan segalanya tidak butuh berpusat di kita. Beberapa hari terakhir, suasana kian gersang: tak berbalas, terbengkalai, ditiadakan begitu saja. Jiwa jadi arena pertarungan paling aduhai, ada kotak-kotak ideal yang sengit ingin dilibatkan. Lalu bertautlah kita pada sesuatu yang selanjutnya diperdebatkan. Persis seperti perspektif yang keluar dari tabiatnya, muncul ahli sana-sini yang melahirkan kecelakaan informasi. Terlena akan klaim menang dan kalah, memvalidasi sesuatu di garis abu-abu. Ketika nalar dianggap subsisten ringan, kemudian kita bisa apa? Semua dibiarkan jadi remeh-temeh atau keras memaksa konteks yang bukan sebenarnya? - S