Skip to main content

Posts

Ada

Waktu merentang, detik demi detik nyala bintang menuntunku pulang—bermula di riuh percakapan dan terbenam di kesunyian, di antara mimpi dan nyata yang tak kenali batasnya. Meletakkan gelisah di palung terdalam, membiarkan ragu luruh menyeberangi sepasang sudut mata. Sebab takdir bukan sepenuhnya milik kita dan melawannya adalah hal sia-sia. Kini, langit bukan lagi abu-abu, selayaknya sepi yang tak lagi jadi tempat berteduh segala sesuatu. Dalam sukacita dan lintasan yang masih jadi rahasia: sentuh tanda tanya, koma, hingga titik sama-sama, - S
Recent posts

Kisah yang Tak Pernah Sepakat

Kita bukanlah pusat segalanya, dan segalanya tidak butuh berpusat di kita. Beberapa hari terakhir, suasana kian gersang: tak berbalas, terbengkalai, ditiadakan begitu saja. Jiwa jadi arena pertarungan paling aduhai, ada kotak-kotak ideal yang sengit ingin dilibatkan. Lalu bertautlah kita pada sesuatu yang selanjutnya diperdebatkan. Persis seperti perspektif yang keluar dari tabiatnya, muncul ahli sana-sini yang melahirkan kecelakaan informasi. Terlena akan klaim menang dan kalah, memvalidasi sesuatu di garis abu-abu. Ketika nalar dianggap subsisten ringan, kemudian kita bisa apa? Semua dibiarkan jadi remeh-temeh atau keras memaksa konteks yang bukan sebenarnya? - S

Dihabisi Nyali

Kita selalu pergi, tapi tidak pernah pulang. Jarak kita tidak pernah lebih, juga tidak pernah kurang. Pikiranmu, pikiranku, jika sama sempitnya, maka sama luasnya. Saling singgah sebentar, melebur apa yang dipendam. Dalam terik tanda tanya itu, kukira kau yang menaungi jawabnya. Bukan. Dan mungkin tidak akan. Sama seperti yang silih-berganti, kau hanyalah transportasi untuk melatihku pergi.  Sementara jika kita masih di sini dan masih selalu pergi, semua akan sama seperti pertama kali: rasaku dibiarkan hidup, pun padam sendiri.  Selamat datang untuk nyala tanpa nyali yang dibuat mati berkali-kali, - S

Menghidupi Kembali

Berkaca pada retak langit dini hari tadi yang tak bermaksud mengutuk pagi, mengecualikan seteru karena semua yang terjadi tak pernah berwajah tunggal. Bahkan jika memang tidak, kekeliruan hanyalah apa yang bersarang di kepala. Menghantam dan melimpahkan—diri sendiri ataupun orang lain—hanya akan mengisolasi hak yang dimiliki. Menyamarkan apa yang sungguh kita ingin dan butuh. Sudah barang tentu, kita punya kemampuan untuk mencerna, tetapi polusi yang tidak relevan menjadikan apa yang seharusnya dilampaui ikut terpinggirkan. Belakangan kita jadi tahu bahwa kita bukan mencoba untuk menerjemahkan pikiran, melainkan mengeksploitasinya cuma-cuma. Di antara maksud baik ini, kita bertanya: Apa rasanya jadi dirimu? Apa rasanya jadi diriku? Mendera, menderu, tak mau disandera. Sedang harmoni tak bisa tercipta dengan begitu saja. Sampai kapan? Mungkin sampai nanti hatimu sentuh rasa lega, sampai kau mengerti biasmu tak perlu menakar-bakar ragu.  - S

Anotha Kilometers

Your arms feels so bold Allied with the cold You never asked the permission Yet I never asked the questions Thriving in a bliss Not worry if something will be missed Even though it turns out just a fiction I cherish it as the fact, but with a blind vision - S