Skip to main content

Air itu Bernama Waktu

di ambang pintu, deru tubuh menyala. deras ingatan perihal lakumu tanpa aba-aba, sambutku seadanya. puing-puing kata terbenam di rahang, kebekuan menyeruak lebih jerit, melewati genggaman kendali.

getir memelik, setara langit memeluk muram pijar sekitarnya. menoleh ke depan, digulung canggung. saling sekarat menyimpan?

saat semua ini kau baca, jelaga tatapmu ialah sepahit-pahitnya sesal di rongga dada. tak pernah kubahas, terkutuk sebatang kara. 

biarkan aku menyelam, dalam. agar kau ingat bahwa dirimu tak pernah benar-benar mengalir sendiri.

masihkah ada di sana?

- S.


Comments

Popular posts from this blog

Anotha Kilometers

Your arms feels so bold Allied with the cold You never asked the permission Yet I never asked the questions Thriving in a bliss Not worry if something will be missed Even though it turns out just a fiction I cherish it as the fact, but with a blind vision - S

Em/r(osi)

Aku adalah segala emosi yang tak bertuan Sekian cara ku coba tuk meredam, apalah daya, sanggupku hanya memendam Tanda tanya di kepala ini terus membungkam, menelusup jiwa yang kian geram Asaku seperti mati dibakar diriku sendiri Aku bagai ditunggu pintu-pintu pilu yang terbuka oleh amarah yang menderu Sungguh, inginku hanya reda Aku lelah hal ini terus singgah Lantas, sanggupkah engkau meniup api yang tak bercahaya ini? Dari tengah malam ini, S.

Ada

Waktu merentang, detik demi detik nyala bintang menuntunku pulang—bermula di riuh percakapan dan terbenam di kesunyian, di antara mimpi dan nyata yang tak kenali batasnya. Meletakkan gelisah di palung terdalam, membiarkan ragu luruh menyeberangi sepasang sudut mata. Sebab takdir bukan sepenuhnya milik kita dan melawannya adalah hal sia-sia. Kini, langit bukan lagi abu-abu, selayaknya sepi yang tak lagi jadi tempat berteduh segala sesuatu. Dalam sukacita dan lintasan yang masih jadi rahasia: sentuh tanda tanya, koma, hingga titik sama-sama, - S